Bima-Drona dalam Lakon Dewa Ruci sebagai Vayu-Vata, Transformasi Prana dalam Pertunjukan Wayang

Aris Wahyudi

Abstract


Abstrack

Relationship of Bima and Drona in Dewa Ruci story is unique. Eventhough Drona puts Bima into danger, Bima chooses Drona as a teacher. It is because Bima has not obtained a very good spiritual knowledge about life yet since a hero is supposed to have high spiritual qualities and good prayers. The wayang tradition describes Bima as a cruel hero who is not religious, and Drona does not have good brahman qualifications, either. This leads to an assumption that their relationship must be important and meaningful. The question is what does the relationship between Bima-Drona mean, namely Bima as the learner who becomes the recipient of spiritual knowledge of welfare and Drona as his teacher? With structural mythological analysis, it can be concluded that the relationshp between Bima-Drona is an identification of Vãyu-Vãta as the transformation of prana in the Syiwapuja rituals.

 

Abstrak

Bima dan Drona dalam cerita Dewa Ruci adalah hubungan yang unik. Meski Drona menjerumuskan Bima, namun Bima memilih Drona sebagai guru. Apalagi hal yang berhubungan dengan pengetahuan spiritual yang sangat baik tentang kehidupan, di mana dapat ditemukan oleh pahlawan yang memiliki kualitas spiritual yang tinggi, doa yang baik, tetapi Bima belum. Tradisi wayang memaparkan bahwa Bima adalah pahlawan yang kejam, tidak berkarakter religius dan Drona belum memiliki kualifikasi brahmana yang baik. Fenomena itu memunculkan asumsi bahwa hubungan tersebut pasti bermakna. Pertanyaannya adalah apa arti Bima-Drona, yaitu Bima sebagai penerima pengetahuan spiritual tentang kesejahteraan dan Drona sebagai gurunya? Dengan analisis mitologi struktural dapat disimpulkan bahwa Bima-Drona adalah identifikasi Vãyu-Vãta sebagai transformasi prãna dalam upacara ritual Syiwapuja.


Keywords


Bima, Drona, Vãyu, Vãta, transformasi, wayang, prãna

Full Text:

PDF

References


Adhikara, S. P. (1984). Nawaruci. ITB.

Al Ghazali, I. (1995). Raudhah: Taman Jiwa Kaum Sufi. Risalah Gusti.

Becker, A. L. (1979). Tex-Building, Epistemology, and Aesthetics in Javanese Shadow Theatre. In A. L. Becker, A. A. Yengoyan, & Et.al. (Eds.), The Imagination and Reality: Essays on Southeast Asia Coherence System. Ablex Publication.

Brandon, J. R. (1970). On Thrones of Gold Three javanese Shadow Plays. Harvard University Press.

Champbell, J. (1973). The Hero With A Thousand Faces. Princeton. Princeton University Press.

Gonda, J. (1965). Change and Continuity in Indian Religion. Mouton & CO.

Gonda, J. (1989). Prayer and Blessing Ancient Indian Ritual Terminology. Kőln: E.J. Brill.

Hiltebeitel, A. (1990). The Ritual of Battle; Krishsna in The Mahabharata. State University of New York Press.

Holt, C. (2000). Melacak jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Hopkins, E. W. (1986). Epic Mytology. Motilal Banarsidass.

Johns, A. H. (n.d.). “Devaruci or The Divine Splendor: A Javanese Presentation of an Indian Religious Concepts” in Tendebantque Manus Ripae Ulterioris, amore. Aneiad VI 314.

Katz, R. C. (1989). Arjuna in The Mahabharata; Where Krishna Is, There is Victory. University of South Carolina.

Krevolin, R. (2003). Rahasia Sukses Skenario Film-film Box Office. Kaifa.

Laksono, P. M. (1985). Tradisi Dalam Struktur Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Pedesaan. Gadjah Mada University Press.

Lévi-Strauss, C. (1967). Structural Anthropology. Translated from The French by Claire Jacobson. Anchor Books, Doubleday and Company, INC.

Macdonell, A. A. (1974). Vedic Mythology. Motilal Banarsidass.

Mahmudi. (2005). Wirid Mistik Hidayat Jati. Pura Pustaka.

Mardiwarsito, L. (1990). Kamus Jawa Kuna-Indonesia (4th ed.). Nusa Indah.

Moedjanto, G. (1994). Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Kanisius.

Muthahhari, M. (1992). Perspektif Al-Quran Tentang Manusia dan Agama. Mizan.

Paz, O. (1995). Lévi-Strauss Empu Antropologi Struktural. LkiS.

Prastiyono, D., & Widyaseputra, M. J. (2007). Ratinãyaka Sebagai Putra: Menelusuri Nilai Estetika dan Nilai Etika Lampahan Ujung Sêngara Tradisi Wayang Jogjakarta. Resital: Jurnal Ilmiah Seni Pertunjukan, 8(1).

Sastroamidjojo, S. (1964). Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit. Kinta.

Sedyawati, E. . (1985). Pengaruh India Pada Kesenian Jawa: Suatu Tinjauan Proses Akulturasi” dalam Soedarsono. In et al Soedarsono (Ed.), Pengaruh India, Islam, dan Barat dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Jawa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Soebardi. (2004). Serat Cabolek. Nuansa.

Soetarno. (2004). Wayang Kulit: Perubahan Makna Ritual dan Hiburan. STSI Press.

Wahyudi, A. (2001). Sanggit dan Makna Lakon Wahyu Cakraningrat Sajian Ki Hadi Sugito. Universitas Gadjah Mada.

Widyaseputra, M. J. (2006). Parinaya Sebagai Bhakti: Arjuna Sebagai Durgãbhaktã dalam Lampahan Seta Ngraman Tradisi Wayang Yogyakarta. Resital, 7(2-Desember).

Widyatmanta, S. (1968). Adiparwa Jilid II. U.P. Spring.

Wiryamartana, I. K. (1990). Arjunawiwaha Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Duta Wacana University Press.

Z., M. C. (1989). Janamejaya’s Sattra and Ritual Structure. Journal of The American Oriental Society, 109(3), 401–420. https://www.jstor.org/stable/604138?seq=1




DOI: https://doi.org/10.24821/wayang.v4i2.5172

Article Metrics

Abstract view : 0 times
PDF - 0 times

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
This work is licensed under a 
Creative Commons Attribution 4.0 International LicenseISSN 2356-4776 (print) | ISSN 2356-4784(online).

 

 

View My Stats

Flag Counter