Film Dokumenter Potret Rhythm of Saman

Pius Rino Pungkiawan

Abstract


Film dokumenter potret Rhythm of Saman ini bercerita tentang Joel Tampeng yang mencoba kembali pada kebudayaan asalnya, yaitu Saman, setelah lama merantau di Yogyakarta sebagai seorang musisi rock. Hal ini bermula dari keprihatinannya terhadap Saman yang menjadi warisan budaya tak benda yang memerlukan perlindungan mendesak (UNESCO). Warisan budaya tak benda bisa disebut dengan intangible cultural heritage, bersifat tak dapat dipegang seperti musik dan tari. Joel Tampeng membentuk komunitas Gayagayo di Yogyakarta bersama para mahasiswa dari Gayo dan mencoba untuk menggabungkan musik rock dan seni tradisi Saman yang kemudian menghasilkan komposisi Rhythm of Saman dengan misi mengenalkan kembali Saman. Metode penciptaan film dokumenter Rhythm of Saman yang digunakan adalah riset dan pengembangan, praproduksi, produksi, dan pascaproduksi yang kemudian didistribusikan melalui Youtube. Bentuk dan tema dokumenter ini bisa menjadi inspirasi bagi filmaker dan masyarakat yang lebih luas.

 

This portrait documentary tells the story of Joel Tampeng who tries to return to his original culture, namely Saman, after a long time wandering in Yogyakarta as a rock musician. It is all initiated by his concern for Saman which is an intangible cultural heritage that requires urgent protection (UNESCO). Intangible cultural heritage can be called intangible cultural heritage because we cannot touch it , such as music, dance and so on. Joel Tampeng formed the Gayagayo community in Yogyakarta with students from Gayo and tried to combine rock music and traditional Saman art to produce the composition of Rhythm of Saman with the mission of reintroducing Saman. The method used to create the documentary film "Rhythm of Saman” was a research and its development, pre-production, production and post-production which was then distributed via Youtube. The form and theme of this documentary can be an inspiration for filmmakers and the wider community.


Keywords


Documentary, Saman, Rock.

Full Text:

PDF

References


Ayawaila, G. R. (2017). Dokumenter dari Ide sampai Produksi. FFTV-IKJ Press.

Kochberg, S. (Ed.). (2002). Introduction to Documentary Production. Wall Flower.

Labadi, S. (2012). Cultural Heritage, and Outstanding Universal Value, Lanham. Almitra Press.

Nugroho, W., Suhada, I. P., Hakim, L. R., & Pungkiawan, P. R. (2019). Perancangan Web Series Film Dokumenter sebagai Media Revitalisasi Kopi Jawa di Ngawonggo, Kaliangkrik, Magelang, Jawa Tengah. Rekam, 15(2), 113–124. https://doi.org/10.24821/rekam.v15i2.3577

Peransi, D. A. (2005). Film/Media/Seni. FFTV-IKJ Press.

Pramayoza, D. (2019). Saman Sebagai Episentrum : Kerangka Kuratorial Festival Budaya Saman 2018. In M. H. Raditya & D. Pramayoza (Eds.), Para Penabuh Tubuh, Sehimpun Tulisan Perihal Saman Gayo (p. 295). Lintang Pustaka Utama.

Rizky, T. (2019). Gayagayo: Menjembatani Saman. In M. H. Raditya & D. Pramayoza (Eds.), Para Penabuh Tubuh, Sehimpun Tulisan Perihal Saman Gayo (p. 244). Lintang Pustaka.

Surahman, S. (2016). Determinisme Teknologi Komunikasi dan Globalisasi Media Terhadap Seni Budaya Indonesia. REKAM: Jurnal Fotografi, Televisi, Animasi, 12(1), 31–42. https://doi.org/10.24821/rekam.v12i1.1385

Teguh, I. (2018). Tarian Pembukaan Asian Games 2018: Saman atau Ratoh Jaroe? Www.Tirto.Id. https://tirto.id/tarian-pembukaan-asian-games-2018-saman-atau-ratoh-jaroe-cTLh




DOI: https://doi.org/10.24821/rekam.v18i1.4886

Article Metrics

Abstract view : 0 times
PDF - 0 times

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

View Rekam Stats