PROSES KREATIF DENGAN PENCITRAAN ESTETIKA DALAM ETIKA

Remy Sylado

Abstract


Seorang pelakon, seorang penyair, dan seorang pelukis, bersama-sama keluar dari
halaman TIM, berjalan kaki lewat Kalipasir ke Kernolong, hendak ke Senen.
Di depan sebuah rumah di kawasan padat Kalipasir, seorang buyung ketagihan narkoba,
duduk dengan wajah kuyu, tiada berpengharapan, kayaknya sebentar lagi modar.
Maka berkatalah sang penyair kepada sang pelakon dan sang pelukis, "Kasihan sekali
buyung itu. Hari-harinya gelap seperti jelaga. Tapi, terus terang, tiba-tiba aku mendapat ilham
dari realitas ini. Aku akan menulis sebuah puisi yang niscaya mampu mengejawantahkan
kesuramannya. Aku kira tidak ada kekuatan dari peradaban manusia yang lebih ampuh daripada
kata, bahasa, piranti budaya yang sanggup mewakili pikiran yang dikcindung otak dan perasaan
yang dikandung hati. Adalah kata yang dapat membual benci dan perang, serta kata pula vang
dapat membuat cinta dan damai. Puisi yang bersandar pada kata, sebab puisi percaya pada nilai
tembus ruangnya kata. Bagaimana pendapat kalian?"
Sang pelakon menjawab.
Yang menjawab sang pelukis. "Baik ."
Karena sang pelakon diam, sang penyair pun bertanya kepadanya, "Bagaimana pikiran
dan perasaannmu melihat buyung itu? Apakah kamu tidak terharu dan iba melihat nasibnya?"
Jawab sang pelakon, 'T id ak . Aku pun pernah menjadi seperti itu. Dan, orang-orang yang
menyaksikan aku, semua memberi aplaus, tepuk tangan apresiasi, memuji aktingku. Ketika aku
melakukan aktingku itu, aku memerintah ilham, memanfaatkan alat-alat tuhuhku, roh dan jiwa,
untuk membuat diriku benar benar meyakinkan seperti itu. Sebelum sanggup melakukan itu,
terlebih dulu aku melakukan observasi kejiwaan dalam tiga cara, yaitu introspeksi: mengamati
proses penghayatan atas kejadian yang sudah berlangsung di dalam diri; ekstrospeksi:
mengamati proses penghayatan atas kejadian yang sudah berlangsung di luar diri; retrospeksi:
mengamati sambil menghayati proses kejiwaan yang sedang berlangsung di dalam diri. Hasil
observasi ini aku simpan di dalam suatu wadah dalam tubuh-roh-jiwa yang aku sebut ’modus
k reatif sebagai sukucadang ilham. Begitu aku membutuhkannya, aku panggil untuk membaju
diriku, mencipta aktingku. Ini yang aku maksudkan tentang kemampuanku memerintah ilham
Bukan menunggu ilham."

Keywords


seni rupa, desain



DOI: https://doi.org/10.24821/ars.v1i4.246

Article Metrics

Abstract view : 0 times

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

 

 

visitor visitor