Merenungkan Kembali Gerakan Anti-Desain
Abstract
Desain (design) adalah sebuah kata yang memiliki pengertian sangat longgar. Kata
ini bisa digunakan tidak hanya dalam kaitan dengan proses perancangan karya-karya
desain interior, desain komunikasi visual/desain grafis, dan desain produk industri,
tetapi juga dengan perancangan produk-produk rekayasa teknik (engineering) dan
penciptaan karya-karya seni kriya. Akibat dari pengertian desain yang sangat longgar ini
tidaklah mungkin bagi bidang ini menggantungkan diri pada satu pendekatan dalam
proses perancangan. Gerakan anti-desainyang menjadi inti judul tulisan inibukanlah
sebuah gerakan desain yang negatif (karena menggunakan sebutan anti-desain), tetapi
adalah sebuah gerakan desain pada masa setelah Perang Dunia II yang menentang
kemapanan pendekatan desain Modern Amerika (Amerika Serikat) yang hanya
berorientasi pada keuntungan finansial dan kurang mengakomodasi keberagaman cita
rasa desain yang didasarkan pada kompleksitas psikologi manusia. Untuk menyebut
'gerakan anti-desain' saya tidak menggunakan huruf besar karena gerakan ini tidak
bersifat spesifik tetapi mewakili berbagai gerakan di sejumlah tempat di dunia yang
ditujukan untuk menentang pendekatan desain Amerika itu. Amerika menjadi sasaran
gerakan ini karena negara ini menjadi pelopor komersialisasi desain. Padatahun 1930-an,
Amerika memelopori pendekatan desain Modern yang didasarkan pada formula “desain
bagus « bisnis menguntungkan”. Pendekatan desain ini memang pernah populer, tetapi
kemudian mendapatkan tentangan hebat dari gerakan anti-desain. Karena dalam
pendekatan desain Amerika ini keuntungan finansial menjadi tujuan utama, maka
produk-produk industri dibuat dengan cepat dan seragam (massproduction). Akibatnya
produk-produk itu cepai membosankan. Masyarakat kemudian digiring untuk membeli
produk-produk lebih baru, yang juga cepat membosankan. Akhirnya masyarakat
menjadi objek eksploitasi tanpa henti. Mereka yang secara ekonomi mampu maupun
kurang mampu sama-sama merasakan eksploitasi ini, tetapi bagi yang secara ekonomi
kurang mampu eksploitasi ini terasa lebih menyakitkan.
Meskipun gerakan anti-desain berkembang di Eropa tidak lama setelah selesainya
Perang Dunia II, pengaruhnya di duniatermasuk di negara-negara berkembang seperti
Indonesiatetap terasa hingga sekarang ini. Di dunia, termasuk di Indonesia, pengaruh ini
muncul dalam bentuk karya-karya desain bergaya Posmodern. Gaya Modern memang
masih hidup, tetapi gaya Posmodern tampaknya menjadi pilihan penting di masa
sekarang, termasuk di Indonesia.
ini bisa digunakan tidak hanya dalam kaitan dengan proses perancangan karya-karya
desain interior, desain komunikasi visual/desain grafis, dan desain produk industri,
tetapi juga dengan perancangan produk-produk rekayasa teknik (engineering) dan
penciptaan karya-karya seni kriya. Akibat dari pengertian desain yang sangat longgar ini
tidaklah mungkin bagi bidang ini menggantungkan diri pada satu pendekatan dalam
proses perancangan. Gerakan anti-desainyang menjadi inti judul tulisan inibukanlah
sebuah gerakan desain yang negatif (karena menggunakan sebutan anti-desain), tetapi
adalah sebuah gerakan desain pada masa setelah Perang Dunia II yang menentang
kemapanan pendekatan desain Modern Amerika (Amerika Serikat) yang hanya
berorientasi pada keuntungan finansial dan kurang mengakomodasi keberagaman cita
rasa desain yang didasarkan pada kompleksitas psikologi manusia. Untuk menyebut
'gerakan anti-desain' saya tidak menggunakan huruf besar karena gerakan ini tidak
bersifat spesifik tetapi mewakili berbagai gerakan di sejumlah tempat di dunia yang
ditujukan untuk menentang pendekatan desain Amerika itu. Amerika menjadi sasaran
gerakan ini karena negara ini menjadi pelopor komersialisasi desain. Padatahun 1930-an,
Amerika memelopori pendekatan desain Modern yang didasarkan pada formula “desain
bagus « bisnis menguntungkan”. Pendekatan desain ini memang pernah populer, tetapi
kemudian mendapatkan tentangan hebat dari gerakan anti-desain. Karena dalam
pendekatan desain Amerika ini keuntungan finansial menjadi tujuan utama, maka
produk-produk industri dibuat dengan cepat dan seragam (massproduction). Akibatnya
produk-produk itu cepai membosankan. Masyarakat kemudian digiring untuk membeli
produk-produk lebih baru, yang juga cepat membosankan. Akhirnya masyarakat
menjadi objek eksploitasi tanpa henti. Mereka yang secara ekonomi mampu maupun
kurang mampu sama-sama merasakan eksploitasi ini, tetapi bagi yang secara ekonomi
kurang mampu eksploitasi ini terasa lebih menyakitkan.
Meskipun gerakan anti-desain berkembang di Eropa tidak lama setelah selesainya
Perang Dunia II, pengaruhnya di duniatermasuk di negara-negara berkembang seperti
Indonesiatetap terasa hingga sekarang ini. Di dunia, termasuk di Indonesia, pengaruh ini
muncul dalam bentuk karya-karya desain bergaya Posmodern. Gaya Modern memang
masih hidup, tetapi gaya Posmodern tampaknya menjadi pilihan penting di masa
sekarang, termasuk di Indonesia.
Keywords
seni rupa, desain
DOI: https://doi.org/10.24821/ars.v1i1.234
Article Metrics
Abstract view : 0 timesRefbacks
- There are currently no refbacks.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
visitor visitor