Jula-Juli Pandalungan dan Surabayan Ekspresi Budaya Jawa-Madura dan Jawa Kota

Aris Setiawan, Suyanto Suyanto, Wisma Nugraha Ch. R.

Abstract


Jula-juli dianggap sebagai salah satu gending di Jawa Timur yang mampu mencerminkan ciri khas-karakter musikal masyarakat Jawatimuran. Pandangan ini diperoleh karena hampir setiap wilayah di Jawa Timur menggunakan gending ini sebagai identitas musikal mereka. Indikasinya, nama gending Jula-juli senantiasa diikuti oleh nama wilayah di Jawa Timur, semisal Jula-juli Surabayan, Pandalungan, Jombangan, Malangan, dan lain sebagainya. Uniknya, walaupun gending ini memiliki kerangka musikal yang sama, namun mampu memunculkan kesan, karakter, nuansa dan suasana yang berbeda antar satu daerah dengan yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap hubungan yang dibangun antara Jula-juli Pandalungan  dan Surabayan sebagai fakta musikal dengan dimensi pengalaman pelakunya sebagai fakta kultural. Penelitian ini menggunakan pendekatan estetik dan sosiologi musik. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa  Jula-juli Pandalungan adalah representasi dari masyarakat keturunan Jawa-Madura dalam upaya menjadi Jawa sejati, sementara Jula-juli Surabayan adalah pengkultusan dari karakter budaya kota. Keduanya dapat menyatu sebagai entitas musikal dalam pertunjukan dan menjadi wacana perlawanan antara dominasi Jawa dan masyarakat pendatang.

 

Jula-Juli Pandalungan and Surabayan: The Expression of Javanese-Madurese and Javanese Urban Culture. Jula-juli is considered as one of gending (traditional music) pieces in East Java which is able to reflect its musical characteristic of Jawatimuran society. This opinion gained by the fact that almost every region in East Java uses this gending as their musical identity. The indication points out the name of Jula-juli gending which is followed by the name of region of East Java, for instances Jula-juli Surabayan, Pandalungan, Jombangan, Malangan, etc. Although the unique thing of this gending has samilar musical frame among those regions, but it is capable to emerge such as sense, character, nuance, and different atmosphere among the regions. This research is aimed to reveal the relation which is built between Jula-juli Pandalungan and Surabayan as the musical fact to the dimension of the experiences owned by the subjects as the cultural fact. This research applies approaches of estetic and of sociological of music. The result of the research shows that Jula-juli Pandalungan is the representation of the society of Javanese-Madurese generation for the effort as being the true Javanese, meanwhile Jula-juli Surabayan is the form of cult from the character of urban culture. Both are able to unite as the musical entity on a performance, but on the other hand, it can be the resistance discourse between Javanese domination and migrant community.


Keywords


Jula-juli; Surabayan music; Pandalungan music

Full Text:

PDF

References


Adiyanto. (2016). Balungan Gending Jawatimuran. Surabaya: C.V. Kurnia.

Anatona. (2011). Antara Buruh dan Budak: Nasib Kuli Kontrak Perkebunan di Sumatera Timur pada Akhir Abad ke-19 Hingga Awal Abad Ke-20. Jakarta.

Anoegrajekti, N. (2010). Etnografi Sastra Using: Ruang Negosiasi dan Pertarungan Identitas. Atavisme, 13(2), 137–148.

Benamou, M. (2010). Rasa : affect and intuition in Javanese musical aesthetics. Oxford: Oxford University press.

Blacking, J. (2000). How musical is man? Seattle: University of Washington Press.

Breman, J. (1997). Menjinakkan sang kuli: politik kolonial, tuan kebun, dan kuli di Sumatra Timur pada awal abad ke-20. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti dan Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde.

Buys, B. (1926). Madoera. Djawa 6.

Destiana, E. (2012). Sebagai Bentuk Akulturasi Budaya Urban. Pedagogia, 1(2), 153–159.

Dick, H. W. (2003). Surabaya, city of work: A socioeconomic history, 1900-2000. Singapore: NUS Press.

Esser. (1894). Onder de Madoereezen. Amsterdam: Hoveker.

Gennep, J. L. Van. (1895). De Madoereezen. US: PAJ Publication

Hidayat, A. R. (2013). Makna Relasi Tradisi Budaya Masyarakat Madura dalam Perspektif Onologi Anton Bakker dan Relevansinya bagi Pembinaan Jati Diri Orang Madura. Filsafat, 23(1), 21–32.

Irawati. (2012). Identitas Kultural dan Gerakan Politik Kerapatan Adat Kurai dalam Representasi Politik Lokal. Jurnal Studi Pemerintahan, 3(1), 71–100.

Kong, L. (2009). Making Sustainable Creative/Cultural Space in Shanghai and Singapore. Geographical Review, 99(1), 1–22.

Linden, L. Van der. (1931). Lets over de Madoereezen. Missiewerk 13.

Mills, A. (2005). Narratives in City Landscapes: Cultural Identity in Istambul. Geographical Review, 95(3), 441–462.

Mitis. (1903). De Karapan Sapie (Stierenerdren): Een Madureesch Feest. Eigen Haard 21.

Ogude, J. (2012). The invention of traditional music in the city: Exploring history and meaning in urban music in contemporary Kenya. Research in African Literatures, 43(4), 147–165.

Prakosa, D. (2017). Pertunjukan Sandhur Tuban Refl eksi Peralihan Masyarakat Agraris Menuju Budaya Urban. Panggung, 27(1), 74–86.

Prasetya, H.B. (2013). Fisika Bunyi Gamelan: Laras, Tuning, dan Spektrum. Yogyakarta: BP ISI

Prasisko, Y. G. (2015). Blandongan: Perebutan Kuasa Budaya Masyarakat Jawa dan Madura. Yogyakarta: LPRIS.

Pujiriyani, D. W. (2013). Re-imajinasi Ke-indonesia-an dalam Konteks “Network Society.” Jurnal Komunitas, 5(2), 151–161. https://doi.org/10.5114/fn.2015.52409

R.M. Surtihadi, & Surtihadi, R. M. (2014). Instrumen Musik Barat dan Gamelan Jawa dalam Iringan Tari Keraton Yogyakarta. Journal of Urban Society’s Arts, 1(1), 27.

Ross, S. G. (2017). Development versus Preservation Interests in the Making of a Music City: A Case Study of Select Iconic Toronto Music Venues and the Treatment of Their Intangible Cultural Heritage Value. International Journal of Cultural Property, 24(1), 31–56. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1017/S0940739116000382

Samidi. (2016). Pengaruh Gaya Hidup dab Identitas Budaya di Kota Surabaya Pada Awal Sampai Pertengahan Abad XX. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Simatupang, L. (2013). Pergelaran: Sebuah mozaik penelitian seni-budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Sindhunata. (2004). Ilmu Ngglethek Prabu Minohek. Yogyakarta: Boekoe Tjap Petroek.

Soedarsono, R. M. (2002). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sukistono, D. (2014). Pengaruh Karawitan terhadap Totalitas Ekspresi Dalang dalam Pertunjukan Wayang Golek Menak Yogyakarta. Resital: Jurnal Seni Pertunjukan, 15(2), 179–189.

Sumarsam. (2016). “Soal-Soal Masa Lampau dan Kini Seputar Hibriditas Musik Jawa-Eropa: Gending mares dan Genre-Genre Hibrid Lain” dalam Bart Barendregt (ed), Merenungkan Gema: Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda. Jakarta: Yayasan Obor.

Sumarsam. (2002). Hayatan gamelan : kedalaman lagu, teori, dan perspektif. Surakarta: STSI Press

Syarif, A. M., & Hastuti, K. (2015). Identifikasi Fitur Melodi Gending Lancaran Berdasarkan Pengenalan Pola Notasi. Techno.COM, 14(3), 234–241.

Veth, P. J. (1882). Java, geographisch, ethnologisch, historisch (Vol. 3). Erven F. Bohn.

Widodo. (2015). Laras in Gamelan Music’s Plurality. Harmonia: Journal of Arts Research and Education, 15(1), 34–45. https://doi.org/10.15294/harmonia.v15i1.3695

Koran

Bintang Soerabaia pada 8 April 1904.

Bintang Timor, 18 Mei 1878.

Koran Pemberita Bahroe, 4 Februari 1896.




DOI: https://doi.org/10.24821/resital.v18i1.2232

Article Metrics

Abstract view : 0 times
PDF - 0 times

Refbacks

  • There are currently no refbacks.





This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.