MAKNA IKINSAI DALAM MIEMPU BUYUK SUKU DAYAK MA’ANYAN

Emma Tianna Riantri

Abstract


Miempu Buyuk merupakan istilah untuk menyebut upacara ritual pengobatan suku Dayak Ma‟anyan. Miempu Buyuk dipimpin oleh Wadian Dadas. Miempu Buyuk tidak dapat dilaksanakan tanpa ada seseorang yang sakit, yang datang juga hadir dalam ritual ini. Salah satu elemen terpenting, yaitu gerak yang dilakukan oleh Wadian Dadas disebut dengan ikinsai. Ikinsai dapat disebut tari, karena gerak-gerak yang dilakukan menunjukkan gerak extraordinary. Wadian Dadas mengalami itun alah (kerasukan roh leluhur) untuk mengambil tumbuhan sebagai obat bagi yang sakit.
Proses pengobatan dalam Miempu Buyuk mencerminkan sebuah ritus peralihan. Meminjam konsep dari Victor Turner, ritus peralihan dibagi ke dalam tiga bagian, yakni separation (pemisahan), transition (liminal), dan reintegration (penyatuan kembali). Ritus peralihan akan membawa ke persoalan liminoid. Pelaksanaan Miempu Buyuk akan mengubah seseorang dari satu situasi ke situasi lainnya. Proses ini akan membawa pelaku, perlengkapan, dan tempat ritual untuk mengalami kebaruan. Elemen-elemen ini akan mengalami masa pemisah, dan berada dalam situasi ambang saat Wadian Dadas melakukan proses penyembuhan. Setelah orang sakit berhasil disembuhkan, semua elemen akan kembali pada posisi awal. Ketika proses penyembuhan, Wadian Dadas selalu ikinsai.
Miempu Buyuk suku Dayak Ma‟anyan membuktikan adanya peralihan yang dialami pada ritual itu sendiri dan elemen-elemennya. Peralihan yang dialami Miempu Buyuk menjadi bukti bahwa ada ikinsai yang dimaknai sebagai liminoid. Pada setiap tahapan dari Miempu Buyuk, ikinsai oleh Wadian Dadas berbeda-beda, tetapi ada kesamaan pada pemanfaatan properti. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang ikinsai dalam Miempu Buyuk.

Keywords


Miempu Buyuk, Ikinsai, Ritus Peralihan

Full Text:

PDF

References


A. Sumber Tertulis

Hanna, Judith Lynne. 1987. To Dance Is Human. Chicago: University Of Chicago Press.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Novianto. 2011. “Jendela Borneo Membangun Kontruksi Pemahaman Terhadap Berbagai Realita Sosial, Politik, dan Kebudayaan Sukun Bangsa Dayak”. Sintang: Asta Prima.

Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Timur. 2005. Sejarah dan Kahiyangan Wadian Dayak Ma’anyan Barito Timur. Palangka Raya: Pemerintah Daerah Kabupaten Baarito Timur.

Riwut, Tjilik . 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang. Palangka Raya: Pusakalima.

Simatupang, Lono. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Turner, Victor, From Ritual To Theatre: The Human Seriousness Of Play diterjemahan oleh St. Hanggar Budi Prasetya. 2011. Dari Ritual Ke Teater: Antropologi Pertunjukan. Yogyakarta: Badan Penerbit ISI Yogyakarta.

B. Narasumber

Debbi Leriantoni, 36 tahun, seorang penari Wadian Bawo di Tamiang Layang, Kabupaten Barito, Kalimantan Tengah.

Rantan, 64 tahun, seorang Wadian Dadas di Desa Dorong, Tamiang Layang Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.

Eka Nugrahno, 27 tahun, penari Wadian Bawo di Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.




DOI: https://doi.org/10.24821/joged.v9i2.2542

Article Metrics

Abstract view : 0 times
PDF - 0 times

Refbacks

  • There are currently no refbacks.


View My Stats