Filsafat Anti-Korupsi

FX Widyatmoko

Abstract


Buku Filsafat Anti-Korupsi setidaknya memberi wawasan akar perilaku tindak korupsi. Dari
situ diharapkan manusia mengenal sisi gelap dalam dirinya, dan sebagai jalan setelah mengenal
sisi gelap yaitu manusia perlu melakukan transendensi diri. Wattimena, yang juga seorang
pengajar di Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya (seturut waktu diterbitkannya
buku ini), menjelaskan transendensi diri sebagai berikut: “…saya menyarankan, agar kita semua
belajar untuk mengenali dorongan-dorongan berkuasa, berburu nikmat, gejolak sisi-sisi hewani,
kemalasan berpikir, dan kekosongan jiwa kita sebagai manusia. Semuan itu harus diakui dan
dikenali. Setlah itu kita perlu untuk membangun niat, komitmen, serta teknik untuk menata dan
malampaui sisi-sisi gelap yang bercokol di dalam diri kita, maupun diri semua manusia tersebut.”
(halaman 201) Lantas, tidak asing manakala simbol korupsi, atau luasnya kejahatan, menunjuk pada dunia
hewan (tikus, kucing, ular, dsb). Pula menunjuk pada kenikmatan (dasi, mobil mewah, dsb),
kekuasaan (sionggasana, raja, dsb). Setidaknya, masih terdapat beragam simbol bagi korupsi.
Dari situ sisi-sisi gelap kian nampak, dan dari situ pula manusia kian dikenalkan pada berbagai
representasi kekuatan gelap yang bercokol dalam dirinya, meski tetap menyisakan sisi gelap yang
tak tertembusi, selain juga – seturut pemahaman saya - kita diajak menciptakan simbol bagi
usaha dalam melakukan pelampauan/transendensi diri. Katakanlah, simbol-simbol positif.

Full Text:

PDF


DOI: https://doi.org/10.24821/dkv.v7i1.889

Article Metrics

Abstract view : 0 times
PDF - 0 times

Refbacks

  • There are currently no refbacks.



This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.

 

View My Stats